HARAPAN semua orang ke pengadilan, termasuk Mahkamah Konstitusi (MK) adalah agar persoalan yang dihadapi segera terselesaikan. Paling tidak masalah yang disengketakan menemukan titik terang yang tidak akan membawa kepada persoalan lain. Namun apa yang terjadi dengan putusan MK tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Jawa Timur (Jatim), nampaknya tidak mengarah kepada penyelesaian. Justru yang berkembang saat ini masalah tersebut dinilai dapat membuka ruang baru bagi konflik yang lebih panjang dan malah menakutkan.

Ada beberapa alasan mengapa kita kemukakan demikian, antara lain, pertama, sikap KPUD Jatim yang dalam hal ini diwakili pengcaranya, Fahmi Bachmid menganggap keputusan MK yang memerintahkan Pilkada dan penghitungan ulang di tiga kabupaten di Madura dianggap telah menyalahi undang-undang. Kedua, sikap para kyai dan atau para pendukung kedua kubu yang masing-masing telah mengeluarkan fatwa untuk memenangkan jagonya. Ketiga, keberadaan KPUD Jatim dan perangkat di bawahnya yang sampai sekarang belum dikenakan sanksi. Keempat, rencana tindakan boikot anggota KPPS dan PPS di daerah di mana pencoblosan dan penghitungan ulang akan dilaksanakan. Dan masih banyak persoalan lainnya yang kita anggap sangat krusial dan dapat menimbulkan konflik horizontal di kawasan itu. Persoalan dan pertanyaannya adalah mengapa semua itu dapat terjadi? Kalau ada yang salah atau keliru, di mana letak kesalahan dan kekeliruannya dan apa yang mesti kita lakukan untuk meredam dampak negatif yang mungkin terjadi?

Ada beberapa poin dalam hal ini yang pantas kita soroti, antara lain mengapa MK membuat keputusan yang memungkinkan orang lain membuat bantahan? Padahal dalam kaidah hukum sebuah keputusan adalah produk hukum. Keputusan hukum sama saja dengan berlakunya suatu undang-undang. Artinya, keputusan hukum yang bagus adalah yang memiliki kadar resistensi sangat rendah. Sedangkan keputusan yang dilakukan MK yang dipimpin Mahfud MD ini justru membuka peluang bagi mereka yang merasa dirugikan untuk melakukan perlawanan hukum. Kita tidak tahu apakah usaha untuk mementahkan keputusan MK yang sekarang tengah diusahakan pengacara KPUD Jatim berhasil atau tidak. Namun lepas apakah nantinya akan berhasil atau tidak, tindakan tersebut telah memberi peluang pihak lain, sebut saja DPR ikut campur ke dalam persoalan tersebut. Kalau hal ini benar terjadi, dapat dibayangkan, sampai kapan Pilkada Jatim itu dapat terselesaikan dengan baik dan benar, adil dan jujur. Karena setelah memasuki ranah dewan, persoalan akan menjadi panjang. Apalagi ada kepentingan-kepentingan politis strategis di belakangnya.

Dampak yang perlu kita waspadai dari tindakan tersebut adalah karena keikutsertaan para pimpinan lokal, seperti para ulama atau kiai dalam Pilkada Jatim, terutama disaat pencoblosan dan penghitungan ulang adalah masalah tersendiri. Sebab bagi kalangan bawah, terutama kalangan pesantren, fatwa kiai adalah hukum yang harus dipatuhi dan ditaati. Sekarang ini ada dua kelompok kiai yang berdiri saling berhadapan di ranah yang suhu kekerasannya sangat tinggi. Maka dapat dibayangkan, apa jadinya jika para pengikut setia mereka menganggap apa yang difatwakan kyai masing-masing adalah sebuah kebenaran yang harus ditaati.

Situasi itu akan diperparah dengan rencana mogoknya anggota KPPS dan PPS di daerah yang akan mengulang pencoblosan dan penghitungan suara tersebut. Hal ini tentu tidak akan terjadi, bilamana KPU Pusat tanggap dan kemudian ikut serta melakukan pembenahan di tubuh KPUD Jatim. Sehingga persoalan-persoalan yang kemungkinan dapat mengganggu pelaksanaan pencoblosan dan penghitungan ulang itu dapat teratasi. Dan pertanyaan lainnya adalah mengapa setelah MK membuktikan kesalahan pada Pilkada Jatim, tidak ada tindakan lanjut, misalnya melaporkan dengan melaporkan kecurangan yang dilakukan anggota KPPS dan PPS atau bahkan KPUD setempat kepada pihak berwenang?

Sebelumnya pengasuh pondok pesantren (Ponpes) Tebu Ireng, Jombang, Jatim, KH Shollahuddin Wahid yang juga Koordinator Dewan Integrasi Bangsa (DIB) telah mengingatkan kepada pihak-pihak terkait dalam kaitan Pilkada di Jatim. Gus Solah panggilan akrabnya meminta agar semua perangkat KPUD Jatim dari atas sampai bawah dirombak atau direformasi ulang. Alasannya, agar pencoblosan dan penghitungan ulang yang akan dilaksanakan di tiga daerah di Madura itu dapat berlangsung, jujur, adil, bebas dan rahasia. Juga terbebas dari unsur-unsur tekanan dan sebagainya. Namun, mengapa hal tersebut juga tidak dilakukan. Padahal, mereka itu adalah sumber penyakitnya. Maka sangatlah wajar jika muncul asumsi Pilkada Jatim ini akan semakin panjang, rumit dan sangat menakutkan. Sebab alasan-alasan untuk terjadinya keadaan tersebut sangat terbuka lebar. Sementara pihak-pihak terkait yang mestinya segera tanggap dan secepatnya melakukan pembenahan seolah-olah membiarkan semuanya terjadi dan berjalan begitu saja. Jadilah, kita tinggal menunggu apa yang bakal menimpa dan terjadi di Jatim tersebut! tar
edit post
0 Response to 'Sengketa Pilkada Jatim Semakin Panjang dan Menakutkan'